Oleh : Dwi Ariani S,S.Pd.
Guru SMP N 2 Cilacap
Dalam pidatonya yang terakhir pada hari ulang tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966, Ir. Soekarno mengucapkan semboyan “Jas Merah” yang tak lain beliau sedang mempertahankan garis politiknya, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Pesan tersirat dan tersurat dalam pidato Sang Proklamator menghendaki agar rakyatnya tidak melupakan peristiwa yang telah lalu.
Seorang Negarawan dan filsuf klasik Cicero ( 106- 43 SM) begitu menghargai sejarah dengan menyebutnya sebagai Historia Vittae Magistra ( Sejarah adalah guru kehidupan ). Bahkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan No. 22/2006 dijelaskan tujuan pembelajaran PPKn yaitu untuk membentuk watak dan peradapan bangsa yang bermartabat serta untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tersebut diatas sedikit kita dapatkan alasan mengapa sejarah perlu dipelajari.
Beberapa manfaat dari mempelajari yakni kita bisa mengambil pengalaman hidup dari generasi-generasi terdahulu. Baik yang berupa strategi, keilmuan, inspirasi tokoh maupun hikmah dibalik setiap peristiwa. Dengan melihat ke masa lalu memungkinkan kita belajar tidak membuat kesalahan yang sama di masa mendatang. Namun sayangnya, meskipun sejarah dianggap penting bangsa kita kurang peduli terhadap sejarah,banyak peristiwa sejarah mulai dilupakan, disangkal atau bahkan berusaha dihapuskan jejaknya. Kesadaran sejarah pada generasi penerus semakin melemah, apalagi didukung dengan tidak berbatasnya informasi digital, siapapun bisa membuat opini, siapapun bisa share informasi, entah informasi itu benar atau salah. Sehingga informasi-informasi peristiwa masa lalu yang diterima generasi saat ini bisa saja pengkaburan atau bahkan pemutar balikan dari fakta sejarah yang sesungguhnya. Terlepas dari semua itu, satu hal yang tak boleh kita lengah, yakni untuk selalu bersikap waspada.
Kalau catatan sejarah bangsa ini mengabadikan 350 tahun bangsa ini pernah dibawah cengkeraman penjajah, bukan tidak mungkin fakta penjajahan ini akan terulang kembali. Penguasaan asing terhadap bangsa ini mungkin tidak lagi dengan menumpahkan darah, tapi dengan cara yang lebih halus. Dan kalau disadari proses penguasaan asing atas bangsa ini sedang berproses menuju totalitas. Tanda-tanda ini semakin jelas, akankah anak bangsa ini berdiam diri ? Siapapun yang pernah mendapatkan pelajaran ppkn di bangku sekolah hampir bisa dipastikan pernah mengenal istilah “devide et impera” yakni politik pecah belah, politik adu domba yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang mudah ditaklukkan. Di masa lalu kerajaan – kerajaan besar menjadi terpecah belah, suku bangsa satu berperang dengan suku bangsa lain karena suksesnya politik ini. Saat ini, rendahnya legitimasi pemerintahan, kekacauan ekonomi, tingginya represi, banyaknya pelanggaran HAM, hingga ketidak adilan dari pemerintah pusat terhadap daerah juga telah menyebabkan disintegrasi dimana-mana. Bukan hal yang mustahil jika nanti kondisi ini dimanfaatkan pihak asing untuk melakukan “devide et impera” jilid 2 pada bangsa ini. Tahun 1927 di Minangkabau, tahun 1948 di Madiun, dan 1965 tragedi Lubang buaya, merupakan tahun-tahun penting yang tak boleh terlupakan oleh bangsa ini. Tahun-tahun genting dimana organisasi yang sama menjadi sebab disitegrasinya bangsa ini. Dibunuhnya ulama, dibantainya para jendral penegak Pancasila, dihancurkannya tempat-tempat ibadah. Ideologi komunis telah berulang kali berusaha merongrong integritas bangsa ini.
Permasalahan kebangsaan akan kembali muncul jika semua elemen masyakat tidak mewaspadai dan membiarkan komunis berkembang di negara ini. Gerakan adu domba antar umat beragama, menghembuskan fitnah pada kalangan agamawan, menciptakan norma dan aturan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, ciri khas Gerakan di masa lalu dan tanda-tanda ini Kembali muncul di masa sekarang di semua lini masyarakat. “JAS MERAH”